- Back to Home »
- Curcol Fahri »
- Terjatuh Dalam Atmosfer Warga Jogjakarta
Posted by : Fahri Tri Setio
Jumat, 11 Agustus 2017
"Jogja itu kota Pelajar" satu kalimat yang Aku ketahui pertama kali tentang Jogjakarta
“Jogja
itu kota pelajar”.
Sebuah
kalimat pengenalan tentang Jogja pertama kalinya untukku di tahun 2009 oleh
wali kelas waktu masih sekolah dasar. Lanjut hingga setiap perpisahan sekolah
baik SMP hingga SMA selalu datang ke kota yang memiliki Stasiun Tugu ini,
lantas Aku berfikir Aku ingin kuliah di
sini. Kenapa ? simple saja, Aku
sudah terbawa sangat dalam atmosfer warga
Jogja.
Tahun
ini Aku menjadi bagian saksi kehidupan Jogjakarta karena Aku dapat menempuh
pendidikan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri disini selama beberapa
tahun ke depan. Sebuah tantangan baru di mana Aku hidup merantau jauh dari
orang tua di rumah, masak sendiri, nyuci baju sendiri, terkadang suka homesick juga kalau melihat pelajar SD di antar oleh orang tuanya. Belajar
mengenal Jogja lebih dalam penuh keharmonisan bersama-sama dengan warga agar
dapat di terima menjadi Jogja menjadi Indonesia. Tenang saja Pak/Bu,
pulang-pergi dari kos ke kampus Aku berjalan kaki, jadi Aku tidak menyumbang
polusi di kota Istimewa ini. Mobilitas di sini Aku selalu menggunakan Trans
Jogja, selain ongkosnya murah untuk kantong mahasiswa sekaligus dapat praktik
komunikasi dengan warga secara langsung, walaupun terkadang Aku suka bingung
dan pusing karena belum fasih banget bahasa Jowo yang ujung-ujungnya Aku menggunakan
bahasa ibu yaitu Bahasa Indonesia.
Rasa
khawatir dari orang tua tentu ada karena mereka tidak bisa mantau anaknya
setiap saat, hal itu juga dirasakan oleh ibuku. Hingga suatu hari ibuku
mengabarkan akan datang ke sini. Tiba di mana Aku menunggu kedatangan ibu di
pintu keluar Stasiun Lempuyangan. “Itu ibu” ucapku dalam hati. Ya Allah kenapa tiba-tiba dadaku sesak, lalu
kenapa kelopak mataku basah juga. Ketika jaraknya sudah dekat Aku berlari
dan memeluk erat sambil berbisik “Ibu Aku rindu”.
Suatu
kebanggaan Aku bisa memperkenal Jogja kepada Ibuku. Tempat pertama kali yang
Aku datangin bersama ibuku adalah Malioboro. “Ini salah satu lokasi FTV yang
suka kamu tonton ya Ri ?”, pertanyaan spontan dari ibu yang membuat Aku tertawa
sekaligus malu karena banyak orang sekeliling yang menengok ke arahku. Dari
malioboro Aku mengajak ibu ke alun-alun naik becak. Pandangan matanya tidak
pernah lepas melihat aktivitas ramainya jalan malioboro, yang dipenuhi para
wisatawan, warga lokal maupun pedagang dan toko-toko. Tentunya makan gudeg itu
ngga boleh ditinggalkan. Sebelum ibu balik Aku membelikan gaun batik dan kemeja
batik untuk Ayah di pasar Beringharjo.
By the way (tr. Ngomong-ngomong), Aku punya cerita unik di
pasar Beringharjo. Waktu itu adalah di minggu pertama Aku di Jogja, pasar yang
Aku tahu waktu itu hanya Beringharjo tetapi sekarang Aku biasa ke pasar
Demangan untuk belanja bulanan karena lumayan dekat dari kos, walaupun jalan
kaki tetap saja pegel hehe. Jadi Aku di pasar Beringharjo mau membeli beras,
mie instan, dan telor ayam. Bingung ? jelas banget Aku bingung ko masuk
pasarnya langsung ketemu toko baju dan celana.
“Mau beli apa dik ?” tanya seorang bapak satpam
dengan bahasa jawanya.
“Aku nyari beras, mie instan, dan telur ayam pak” jawabku menggunakan bahasa Indonesia yang baku plus kaku.
“Dari sini adik lurus aja, kebutuhan adik ada di gedung sebelah” kata bapak tersebut menggunakan bahasa Indonesia tidak dengan bahasa jawa. Syukur deh.
“Aku nyari beras, mie instan, dan telur ayam pak” jawabku menggunakan bahasa Indonesia yang baku plus kaku.
“Dari sini adik lurus aja, kebutuhan adik ada di gedung sebelah” kata bapak tersebut menggunakan bahasa Indonesia tidak dengan bahasa jawa. Syukur deh.
“mater nuwun pak” jawabku menggunakan bahasa Jawa
setelah Aku mendengar percakapan pedagang dan pembeli di sampingku. Bagaimana
Aku bisa tahu itu artinya terima kasih ? karena pedagangnya menjawab Sami-sami. Oh berarti pembeli tadi
ngucapin terima kasih.
Sampai
di gedung sebelah Aku makin pusing “iki
piro mas”, “halo mba koe dimana”,”ndok sini”, “piye kabarmu lik”. Benar
sekali, Aku mendengar percakapan semuanya menggunakan bahasa jowo. Aku sempat
berfikir untuk balik aja ngga jadi beli, tetapi Aku sadar harga di pasar jauh
lebih murah.
“Beli beras bu” tanyaku.
“Piro mas ?” jawab ibu tersebut.
“Piro mas ?” jawab ibu tersebut.
Piro artinya apa bu .. ucapku dalam hati.
“Artinya apa bu ?” jawabku polos karena benar-benar
Aku tidak mengetahuinya.
“Oalah.. artinya beli berapa kg mas. Mas’e mahasiswa rantau ? asal mana mas ?”.
“2 kg aja bu, sekalian mie instan dan telur ayam. Iya bu, dari Tangerang”.
“Ini mas pesanannya. Oh gitu, jaga diri aja mas, walau banyak yang bilang Jogja aman, tapi kalau kita sendiri tidak jaga diri, kita juga yang mengundang bahaya” kata ibu itu sambil melayani pembeli yang lain.
“Terima kasih bu termasuk sarannya, nanti mampir ke sini lagi bu” jawabku perlahan sambil meninggalkan kios ibu tersebut.
“Oalah.. artinya beli berapa kg mas. Mas’e mahasiswa rantau ? asal mana mas ?”.
“2 kg aja bu, sekalian mie instan dan telur ayam. Iya bu, dari Tangerang”.
“Ini mas pesanannya. Oh gitu, jaga diri aja mas, walau banyak yang bilang Jogja aman, tapi kalau kita sendiri tidak jaga diri, kita juga yang mengundang bahaya” kata ibu itu sambil melayani pembeli yang lain.
“Terima kasih bu termasuk sarannya, nanti mampir ke sini lagi bu” jawabku perlahan sambil meninggalkan kios ibu tersebut.
Tidak
jauh Aku mendegar ibu itu mengucapkan nggeh
mas, sami-sami monggoh mampir lagi. Syukur dagangan ibu
tersebut ramai pelanggan. Ramahnya ibu tersebut mungkin menjadi alasan
banyaknya pelanggan.
Di
malam berikutnya (masih minggu pertama Aku di Jogja) Aku pergi ke Malioboro di
waktu malam hari, kata orang kita belum ke Jogja kalau tidak mencicipi kopi jos
di malam kota bapak Presiden Indonesia menyelesaikan studi sarjananya. Aku
memilih lokasi di sisi kanan Stasiun Tugu, banyak sekali angkringan yang
berjejer. Ramainya bukan main lagi, warga lokal, turis lokal, turis luar
negeri, mahasiswa, pelajar menjadi satu kehangatan dengan iringan musik
keroncong kalau tidak salah, Aku lupa namanya. Suasana seperti ini benar-benar
spesial sekali buat Aku karena ini pertama kalinya di malam hari ini minum kopi
jos duduk lesehan. Maklum di kota sana tidak ada seperti ini, hanya kafe-kafe
modern. Interaksi pengunjung, suara palang pintu kereta api, suara
pemberitahuan dari stasiun Tugu, suara mesin motor yang lewat seakan-akan
menjadi kesatuan musik orkestra dalam telingaku.
Ada
satu perbincangan pengunjung yang tidak sengaja Aku dengar karena mereka tepat
di sampingku. Sepertinya mereka warga lokal sini. Mereka membicarakan soal
tidak setujunya pembangunan gedung-gedung pencakar langit di Jogja, entah itu
untuk mall maupun apartemen dan gedung kantor. Aku memberanikan diri bergabung
dengan mereka karena Aku sependapat dengan mereka. Jika Jogja dipenuhi
gedung-gedung pencakar langit seperti layaknya Ibukota Jakarta. Istimewa yang
Aku kenal dari Jogja adalah warganya, mereka benar-benar terbuka untuk semua
kalangan tanpa membataskan diri. Ramahnya mereka, senyuman mereka, dan pedulinya
mereka. Ingat kisahku di atas waktu di pasar Beringharjo ? Aku yang baru ketemu
ibu penjual tersebut dalam 5 menit, dengan senang hati ibu tersebut memberi saran
supaya Aku jaga diri di kota rantau yang jauh dari keluarga, saudara, kakak,
dan teman-teman waktu sekolah. Aku terharu banget. Tanpa sadar waktu
menunjukkan pukul 12 malam, tidak terasa midnight
seperti ini masih sangat ramai, Aku benar-benar menikmati dan sudah jatuh
terlalu dalam atmosfer di sini sampai tidak berkeinginan untuk meninggalkan
sebuah kenangan buruk di sini.
Cerita
di atas merupakan kisah nyataku yang Aku alami sendiri di Jogja, sekarang ini
Aku memasuki tahap 2 bulan disini. Kalau ditanya apakah Aku betah ? tentu Aku
betah menjadi Jogja. Menjadi Jogja Menjadi Indonesia.
MY SUPER MOM. BIG LOVE